Setelah sebelumnya temen-temen hanya membaca artikel saja, kali ini kami akan menampilkan video tentang karawitan. Inilah video dari kelompok kami.
Selamat menonton yaa!!!
Karawitan is Fun!
Setelah sebelumnya temen-temen hanya membaca artikel saja, kali ini kami akan menampilkan video tentang karawitan. Inilah video dari kelompok kami.
Selamat menonton yaa!!!
Lanc. Kebogiro pl. Br
Bk. 5 6 7 2 7 3 7 3 7 6 7 (5)
A. - 6 - 5 - 3 - 2 - 3 – 2 - 6 – [5]
- 6 – 5 - 3 – 2 - 3 – 2 - 6 – [5]
- 6 – 5 - 6 – 7 - 6 – 7 - 6 – [5]
- 6 – 5 - 6 – 7 - 6 – 7 - 6 – [5]
- 7 – 6 - 3 – 2 - 3 – 2 - 6 – (5)WA
Lancaran Kebogiro termasuk jenis Lancaran Nibani. Nibani dalam bahasa Jawa adalah jatuh. Jadi, dalam 1 gatra Kebogiro ada titik dimana pada saat titik itu instrumen seperti slenthem, saron, demung tidak dimainkan. Sedangkan kethuk justru dimainkan pada titiknya. Gong ageng dibunyikan saat tanda (), sedangkan gong suwuk dimainkan saat tanda []. Bk (Buka) dibawakan hanya oleh bonang barung, semua instrumen baru mulai dimainkan bersamaan saat gong ageng dibunyikan pada hitungan terakhir pada Buka. Pada baris terakhir ada singkatan WA, artinya wangsul (kembali) ke A.
Lanc. Udan Mas Pl. Br
Bk. - 7 7 7 5 6 7 2 - 7 6 5 6 7 6 (5)
A. 6 5 3 2 6 5 3 2 - 3 2 3 6 5 3 [2]
6 5 3 2 6 5 3 2 - 3 2 3 6 5 3 [2]
7 5 6 7 5 6 7 2 - 7 6 5 6 7 6 [5]
7 5 6 7 5 6 7 2 - 7 6 5 6 7 6 (5)
Lancaran Udan Mas termasuk jenis Lancaran Mlaku, yang dalam bahasa Jawa artinya jalan. Jadi, dalam 1 gatra tidak ada titik sehingga tidak ada saat berhenti memainkan instrumen. Kethuk dimainkan pada hitungan ke ganjil di setiap gatra. Saron penerus dimainkan 2 kali di semua angka. Gong ageng dibunyikan saat tanda (), sedangkan gong suwuk dimainkan saat tanda []. Bk (Buka) dibawakan hanya oleh bonang barung, semua instrumen baru mulai dimainkan bersamaan saat gong ageng dibunyikan pada hitungan terakhir pada Buka. Semua instrumen memainkan nada terakhir (5) segera setelah gong ageng.dibunyikan.
Cara membaca not angka dalam kesenian karawitan:
1 (Siji atau Ji)
2 (Loro atau Ro)
3 (Telu atau Lu)
4 (Papat atau Pat)
5 (Limo atau Mo)
6 (Enem atau Nem)
7 (Pitu atau Pi)Karawitan mendapatkan tempat yang istimewa di dunia seni pertunjukkan
Joselyn, seorang teman dari
Di Munchen, menurut penuturan Paul (aktivis LSM berkewarganegaraan Jerman) setiap bulan ada pentas orkestra gamelan yang ditiketkan dengan harga mahal. Meskipun demikian, menurut Paul, tiap bulan penonton pasti memadati gedung orkestra dan tiketpun laris manis. Lebih mengherankan lagi, ternyata seluruh personilnya adalah warga negara asli Jerman.
Miyam, seorang kenalan (warga negara Belanda), pernah menceritakan bahwa di negaranya, nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari hiburana, namun sebagai olahraga pengganti Yogya dan Taichi. Sekali lagi ini adalah warta yang mengharuskan setiap orang yang mendengar segera menggelengkan kepala sebagai tanda ketidaksanggupannya untuk menerima begitu saja.
Harus diakui bahwa ada perasaan iri ketika menyadari kemapanan masa depan seni karawitan lebih menjanjikan di belahan benua lain. Bahkan kadang muncul—mereka telah mencuri warisan budaya bangsa kita. Itulah yang salah. Mereka tidak mencuri, merampas, merampok atau pun menjajah. Mereka hanya lebih memiliki kepedulian. Sedangkan sebagaian besar masyarakat kita—mungkin hanya terkesan acuh tak acuh.
Untuk mengembangkan seni karawitan di negeri kita, langkah awalnya adalah menjadikan seni karawitan sebagai sesuatu yang inklusif untuk mendapatkan kepedulian masyarakat. Sedangkan, usaha transformasi nilai (moral) masih dapat dilakukan setelah mereka dekat, kenal, dan akrab dengan gamelan. Selanjutnya, dunia pendidikan formal sudah harus menyiapkan sarjana-sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri”.
Kenyataan bahwa seni karawitan terkesan eksklusif (bila malu disebut kampungan), asing, tidak menyenangkan, dan puluhan istilah negatif lainnya, adalah efek dari anggapan perihal kemapanan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran seni (karawitan) yang konservatif, tidak mempertimbangkan aspek psikologis, dan menitikberatkan kesenimanan, adalah kelalaian terhadap proses pelestarian. Inilah saaatnya kita mengenalkan suatu moetode belajar karawitan yang kontekstual. Mari bersama mencetak agen budaya yang mampu menghimpun masyarakat untuk belajar karawitan dengan gampang dan senang.
http://jogjanews.com/2009/10/25/semua-universitas-di-as-telah-membuka-kuliah-seni-karawitan/