Halaman

Riwayat Gamelan Jawa

Author: Nmne / Label:

Sri Paduka Maharaja Dewa Buda membuat Gamelan “Lokananta” berwujud wilahan (bilah) terbuat dari “gangsa” yang sekarang disebut Demung.

Masa Kartika, Hyang Endra membuat alat bunyi-bunyian yang dinamai ‘Surendra' berwujud gending (kini disebut rebab), kala (kendang), sangka (gong), pamatut (kethuk) dan sauran (kenong)

Masa Palguna, Hyang Endra mengutus Batara Citrasena ke negeri Purwacarita membawa Gamelan ‘Surendra’ untuk diberikan pada Maharaja Kano bahwa bunyi-bunyian tersebut boleh dipakai oleh manusia di dunia. Sri Maharaja Kano menambahkan dengan salundi (kempul) dan garantang (gambang)
Dan menyebarkannya ke masyarakat untuk ditiru dan dikembangkan.
Dengan berjalannya waktu Surendra lebih dikenal sebagai Surendro atau Salendro.

Sri Maharja Kano menciptakan dan menyebarluaskan lagu-lagu dari tembang ageng. Inilah asal muasal gending.

Berdasarkan alat bunyi-bunyian dari negeri Ajam, Yahudi, dan Hindu, Sri Maharaja Kano menciptakan bunyi-bunyian tanda perang yaitu Mardangga, yang terdiri dari :
kala kendang, sangka gong, egong, gubar (bende yang tidak berpencu), bahir (beri yang memakai sanding keliling), puskur (rebana yang dipukul dengan kayu), gurnang (kenong digantung), tong-tong (kendang dari gangsa, alat pemukul dari kayu), grit (rebana yang dipukul dengan kayu), tetek, bedug, manguru gangsa (kemodong yang digantung), lama kelamaan ‘Mardangga’ berubah menjadi ‘Pradangga’.

Dewi Sugandi, putri Prabu Basukesti, raja negeri Wirata melahirkan Dewi Basuwati.
Raja mengundang para brahmana, tapa resi, dan sewasgota untuk memuji syukur agar sang bayi senantiasa sehar tak kurang suatu apa.
Para rohaniwan ada yang menabawa bunyi-bunyian rebana atau terbang, angklung, genta, kekeleng, bende, dan kentongan. Bunyi-bunyian tersebut mengiringi nyanyian permohonan kepada Dewata
Sepulang para rohaniwan, raja memerintahkan membuat tiruan alat-alat tersebut yang bebentuk rebana dan berbagai angklung ditujukan agar bisa dimainkan seperti Surendra.

Prabu Basukesti, raja negeri Wirata membuat tiruan dari Gangsa Lokananta berwujud demung dan gender, yang kemudian juga disebar ke masyarakat luas dan dikenal sebagai Gangsa Surendra.

Resi Kano dari negeri Ngadirejo, Cilacap, berniat melawan Prabu Aji Pamasa di Kediri. Prabu Narada, raja Ngadirejo segera mengutus Waktra dan Barlu mengawasi Resi Kano. Waktra dan Barlu menyamar sebagai pemain jantur, membawa seruling buatan sendiri dari Bambu Wratsari dan empat ekor burung merak.
Bunyi seruling dibuat bernada dasar menirukan suara-suara burung merak.
Sepulang ke Ngadirejo seruling menjadi kelengkapan Gangsa Surendra ditambah dengan bunyi dasar yang cocok dengan suara dasar Gangsa Salendro. Timbullah Laras ‘Manyura’ untuk pengingat suara burung merak: ‘nya-ngung-ngong”.

Prabu Lembu Amiluhur berputra Raden Panji Ino Kertapati dikenal sebagai Raden Panji Kesatriyan, ahli segala ilmu pengetahuan, menambahkan alat yang berwujud bonang dan saron serta menambah dasar-dasar nada atau laras.
Saudara-saudara beliau membantu dalam menciptakan alat.
Raden Kartala mengayunkan palu besar, Raden Andaka palu sedang.
Penyelesaiannyapun dikerjakan se-kadang sendiri
Selesai gamelan tersebut, diciptakan seperangkat “laras miring” atau disebut “Pelog”.
Jumlah dan jenis alat bunyian sama dengan Gamelan Surendro
Akhirnya Gamelan Surendro disebut Salendro dan Pelog.
Pada masa pemerintahan Prabu Mundingsari dari kerajan pajajaran dibuat dua macam gamelan lagi seperti ayahnya dari Jenggala ‘sorogan untuk laras pelog’ untuk Mardangga yang disebut ‘Laras Barang’ meniru laras bunyi bunyian dari Cina atau Siyam..

Buku Ajar Pendidikan Seni Tari & Karawitan

0 komentar:

Posting Komentar

This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates