Halaman

Karawitan di Luar Negeri Lebih Dihargai??

Author: Nmne / Label:

Karawitan mendapatkan tempat yang istimewa di dunia seni pertunjukkan Indonesia. Di Yogyakarta, karawitan tidak hanya dapat berkembang baik di dalam kraton. Karawitan juga sangat berkembang di kalangan masyarakat. Di sela-sela kesibukan masyarakat, pasti ada aktivitas nabuh gamelan yang dilakukan secara rutin. Seniman karawitan boleh berbangga dengan keadaan ini. Namun, fenomena yang terjadi ini belum merupakan tanda kemapanan. Karawitan ternyata lebih dikembangkan oleh masyarakat California (USA), Munchen (Jerman), dan Amsterdam (Belanda).

Joselyn, seorang teman dari California, tiga tahun lalu mengabarkan bahwa seluruh perguruan tinggi yang ada di negaranya telah memiliki gamelan. Semua universitas telah membuka mata kuliah minor seni karawitan. Hebatnya lagi telah tumbuh suatu “iklim” yang luar biasa mapan di kalangan mahasiswa, yaitu barangsiapa yang tidak mau mengambil mata kuliah karawitan akan disebut “kampungan” .

Di Munchen, menurut penuturan Paul (aktivis LSM berkewarganegaraan Jerman) setiap bulan ada pentas orkestra gamelan yang ditiketkan dengan harga mahal. Meskipun demikian, menurut Paul, tiap bulan penonton pasti memadati gedung orkestra dan tiketpun laris manis. Lebih mengherankan lagi, ternyata seluruh personilnya adalah warga negara asli Jerman.

Miyam, seorang kenalan (warga negara Belanda), pernah menceritakan bahwa di negaranya, nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari hiburana, namun sebagai olahraga pengganti Yogya dan Taichi. Sekali lagi ini adalah warta yang mengharuskan setiap orang yang mendengar segera menggelengkan kepala sebagai tanda ketidaksanggupannya untuk menerima begitu saja.

Harus diakui bahwa ada perasaan iri ketika menyadari kemapanan masa depan seni karawitan lebih menjanjikan di belahan benua lain. Bahkan kadang muncul—mereka telah mencuri warisan budaya bangsa kita. Itulah yang salah. Mereka tidak mencuri, merampas, merampok atau pun menjajah. Mereka hanya lebih memiliki kepedulian. Sedangkan sebagaian besar masyarakat kita—mungkin hanya terkesan acuh tak acuh.

Untuk mengembangkan seni karawitan di negeri kita, langkah awalnya adalah menjadikan seni karawitan sebagai sesuatu yang inklusif untuk mendapatkan kepedulian masyarakat. Sedangkan, usaha transformasi nilai (moral) masih dapat dilakukan setelah mereka dekat, kenal, dan akrab dengan gamelan. Selanjutnya, dunia pendidikan formal sudah harus menyiapkan sarjana-sarjana yang memiliki spesifikasi sebagai pendidik, pengaji,kritisi, dan pengelola, selain praktisi seni pertunjukan (karawitan). Mereka inilah yang nantinya akan bersinergi sebagai agen budaya dalam rangka menciptakan iklim kondusif untuk kelangsungan hidup seni karawitan di “rumah sendiri”.

Kenyataan bahwa seni karawitan terkesan eksklusif (bila malu disebut kampungan), asing, tidak menyenangkan, dan puluhan istilah negatif lainnya, adalah efek dari anggapan perihal kemapanan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran seni (karawitan) yang konservatif, tidak mempertimbangkan aspek psikologis, dan menitikberatkan kesenimanan, adalah kelalaian terhadap proses pelestarian. Inilah saaatnya kita mengenalkan suatu moetode belajar karawitan yang kontekstual. Mari bersama mencetak agen budaya yang mampu menghimpun masyarakat untuk belajar karawitan dengan gampang dan senang.


http://jogjanews.com/2009/10/25/semua-universitas-di-as-telah-membuka-kuliah-seni-karawitan/

0 komentar:

Posting Komentar

This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates